Home » Dampak Kebijakan Satu Anak Cina

Dampak Kebijakan Satu Anak Cina

by Syaif
0 comments
Dampak Kebijakan Satu Anak Cina terhadap Populasi dan Masyarakat

Kebijakan Satu Anak yang diperkenalkan oleh pemerintah Cina pada tahun 1979 merupakan salah satu program rekayasa sosial yang paling ambisius dan kontroversial dalam sejarah. Tujuan utamanya adalah untuk menanggulangi laju pertumbuhan populasi yang pesat, tetapi kebijakan ini juga membawa dampak yang mendalam dalam aspek sosial, ekonomi, dan demografi. Meskipun kebijakan ini secara resmi diakhiri pada tahun 2016, dampaknya masih terus dirasakan di seluruh Cina. Artikel ini membahas berbagai dampak dari kebijakan Satu Anak, dengan merujuk pada studi ilmiah dan analisis para ahli untuk menggali dampak jangka panjang terhadap dinamika populasi, ketidakseimbangan jenis kelamin, dan hasil sosial.

Latar Belakang Kebijakan Satu Anak

Kebijakan ini diperkenalkan di tengah kekhawatiran yang semakin berkembang mengenai ledakan populasi di Cina, yang dianggap sebagai penghalang bagi pembangunan ekonomi dan keberlanjutan sumber daya alam. Pada akhir 1970-an, populasi Cina mendekati satu miliar orang, yang mendorong pemerintah untuk mencari cara agar dapat memperlambat laju pertumbuhannya. Dengan mewajibkan sebagian besar keluarga hanya memiliki satu anak, kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan angka kelahiran dan mengurangi tekanan pada sumber daya.

Dinamika Populasi dan Angka Kelahiran

Salah satu tujuan utama dari Kebijakan Satu Anak adalah menurunkan tingkat fertilitas nasional. Penelitian menunjukkan bahwa kebijakan ini berhasil mencapai tujuan tersebut. Antara tahun 1979 dan pertengahan 1990-an, angka kelahiran di Cina turun drastis, dari sekitar 5,8 anak per wanita pada tahun 1970-an menjadi di bawah 2 anak per wanita pada tahun 1990-an. Angka fertilitas tetap berada di bawah tingkat penggantian selama beberapa dekade, yang berkontribusi pada pelambatan pertumbuhan populasi yang signifikan.

Namun, dampak jangka panjang dari perubahan ini lebih kompleks. Dengan jumlah anak yang lebih sedikit, Cina kini menghadapi populasi yang menua dan tenaga kerja yang semakin berkurang. Transisi demografis dari populasi muda menuju populasi yang lebih tua ini menimbulkan tantangan besar bagi pertumbuhan ekonomi, sistem kesehatan, dan layanan sosial. Respons pemerintah adalah dengan secara bertahap mengubah kebijakan tersebut, pertama kali mengizinkan dua anak per keluarga pada tahun 2016, dan kemudian memperluasnya menjadi tiga anak per keluarga pada tahun 2021.

banner

Ketidakseimbangan Jenis Kelamin dan Praktik Seleksi Jenis Kelamin

Salah satu dampak yang paling signifikan dan memprihatinkan dari Kebijakan Satu Anak adalah peningkatan ketidakseimbangan jenis kelamin di Cina. Keinginan untuk memiliki anak laki-laki karena alasan budaya dan ekonomi menyebabkan banyak keluarga melakukan praktik seleksi jenis kelamin, termasuk aborsi selektif dan pembunuhan bayi perempuan. Penerapan kebijakan ini semakin memperburuk tren tersebut, karena keluarga yang hanya memiliki satu anak merasa sangat tertekan untuk memastikan kelahiran seorang anak laki-laki.

Penelitian oleh Babiarz et al. (2019) menyoroti bagaimana Kebijakan Satu Anak bertepatan dengan lonjakan aborsi selektif jenis kelamin, yang menyebabkan ketidakseimbangan yang signifikan dalam rasio jenis kelamin di Cina. Di beberapa wilayah, rasio jenis kelamin saat kelahiran mencapai tingkat yang memprihatinkan, dengan sebanyak 130 anak laki-laki dilahirkan untuk setiap 100 anak perempuan. Ketidakseimbangan ini telah menyebabkan dampak sosial yang serius, termasuk berkembangnya krisis “pasar pernikahan”, di mana semakin banyak pria kesulitan untuk menemukan pasangan, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial dan potensi peningkatan kejahatan.

Almond, Li, dan Zhang (2013) juga membahas persimpangan antara reforma agraria dan seleksi jenis kelamin, yang menunjukkan bahwa faktor ekonomi memainkan peran kunci dalam preferensi terhadap anak laki-laki. Kemampuan untuk mewarisi tanah dan meneruskan nama keluarga adalah motivasi signifikan bagi keluarga untuk lebih menginginkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sebuah tren yang semakin diperburuk oleh Kebijakan Satu Anak.

Populasi Menua dan Dampak Ekonomi

Perubahan demografis yang dihasilkan dari Kebijakan Satu Anak memiliki dampak ekonomi yang mendalam. Dengan angka kelahiran yang menurun dan populasi yang semakin menua, Cina menghadapi potensi kekurangan tenaga kerja. Peralihan ini mengancam pertumbuhan ekonomi yang telah dialami negara ini selama beberapa dekade. Menurut Hesketh dan Zhu (1997), dampak tak terduga dari kebijakan ini adalah terciptanya “generasi yang menyusut”, yang akan menghadapi tantangan besar di masa depan, karena semakin sedikit pekerja yang tersedia untuk menopang populasi lanjut usia.

Akibatnya, pemerintah Cina harus beradaptasi dengan mendorong angka kelahiran yang lebih tinggi, memberikan insentif bagi keluarga untuk memiliki lebih banyak anak, dan secara bertahap meningkatkan usia pensiun. Namun, membalikkan dampak jangka panjang dari Kebijakan Satu Anak bukanlah hal yang mudah, karena banyak orang di kota-kota besar, khususnya, masih enggan untuk memiliki lebih banyak anak karena tingginya biaya hidup, kurangnya perawatan anak yang terjangkau, dan kekhawatiran mengenai kemajuan karier.

Dampak pada Struktur Sosial dan Dinamika Keluarga

Kebijakan Satu Anak juga mengubah struktur keluarga di Cina dengan cara yang mendalam. Secara tradisional, keluarga di Cina bersifat ekstensif, dengan banyak generasi yang tinggal bersama. Namun, Kebijakan Satu Anak mendorong terbentuknya keluarga nuklir yang lebih kecil, yang secara signifikan mengurangi pengaturan tempat tinggal antar generasi. Penurunan jumlah anak per keluarga juga berarti bahwa orang tua dan kakek-nenek semakin bergantung pada sejumlah kecil pengasuh.

Selain itu, kebijakan ini melahirkan struktur keluarga yang sering disebut sebagai struktur “4-2-1”. Dalam struktur ini, seorang anak tunggal mungkin bertanggung jawab untuk merawat dua orang tua dan empat orang tua dari pihak keluarga. Ini menimbulkan tekanan besar pada generasi muda, baik dari segi dukungan finansial maupun tanggung jawab pengasuhan.

Dampak Psikologis dan Sosial pada Anak-anak

Kebijakan Satu Anak juga memiliki dampak psikologis dan sosial yang signifikan pada anak-anak yang lahir di bawah kebijakan ini. Banyak dari anak-anak ini, yang sering disebut sebagai “si emperur kecil”, tumbuh sebagai satu-satunya fokus perhatian orang tua mereka, yang menyebabkan peningkatan individualisme, tekanan akademik yang tinggi, dan ekspektasi kesuksesan yang besar. Beban psikologis bagi anak-anak ini sering kali sangat berat, karena mereka diharapkan untuk mendukung orang tua yang sudah lanjut usia dan berkontribusi pada kesejahteraan keluarga.

Selain itu, dampak sosial dari menjadi anak tunggal tercatat dalam hal isolasi sosial dan keterampilan sosial yang terbatas. Tanpa saudara kandung untuk berbagi pengalaman, banyak dari anak-anak ini tumbuh dalam lingkungan yang sangat terkendali dengan sedikit kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial secara mandiri.

Dampak Sosial dan Budaya Jangka Panjang

Dampak jangka panjang Kebijakan Satu Anak terhadap masyarakat dan budaya Cina sangat mendalam. Salah satu konsekuensi yang paling terlihat adalah perubahan besar dalam nilai-nilai keluarga dan ekspektasi. Kebijakan ini menyebabkan terpecahnya struktur keluarga tradisional, dengan penekanan pada unit keluarga nuklir daripada keluarga ekstensif. Perubahan ini berkontribusi pada perubahan peran gender, munculnya rumah tangga anak tunggal, dan redefinisi konsep-konsep seperti bakti filial, yang secara tradisional menekankan pentingnya memiliki banyak anak untuk merawat orang tua yang sudah lanjut usia.

Lebih lanjut, kebijakan ini berkontribusi pada pergeseran dalam pendekatan Cina terhadap kesejahteraan sosial. Seiring populasi menua dan jumlah orang yang berada dalam usia kerja berkurang, pemerintah Cina menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menyediakan layanan sosial, pensiun, dan perawatan kesehatan bagi populasi lanjut usia.

Kesimpulan

Kebijakan Satu Anak, meskipun berhasil dalam menurunkan angka pertumbuhan populasi, meninggalkan Cina dengan tantangan demografis dan sosial yang kompleks yang akan berlangsung selama beberapa dekade mendatang. Dampak kebijakan ini terhadap rasio jenis kelamin, struktur keluarga, dan pasar tenaga kerja memiliki konsekuensi yang jauh lebih luas yang terus memengaruhi lanskap sosial dan ekonomi Cina. Seiring negara ini terus menghadapi dampak-dampak ini, pelajaran yang dipetik dari Kebijakan Satu Anak kemungkinan akan memengaruhi diskusi global mengenai kontrol populasi, perencanaan keluarga, dan keberlanjutan demografis di masa depan.

FaQ

Apa tujuan utama dari Kebijakan Satu Anak Cina?

Tujuan utama dari Kebijakan Satu Anak adalah untuk mengurangi laju pertumbuhan populasi yang pesat di Cina dengan membatasi jumlah anak yang dapat dimiliki oleh setiap keluarga.

Apa dampak kebijakan Satu Anak terhadap ketidakseimbangan jenis kelamin?

Kebijakan ini memperburuk ketidakseimbangan jenis kelamin di Cina, dengan banyak keluarga memilih untuk memiliki anak laki-laki, yang berujung pada peningkatan angka aborsi selektif dan pembunuhan bayi perempuan.

Mengapa Cina melonggarkan Kebijakan Satu Anak?

Cina melonggarkan kebijakan ini untuk menghadapi tantangan populasi yang menua dan kekurangan tenaga kerja. Kebijakan tersebut akhirnya digantikan dengan kebijakan dua anak pada tahun 2016 dan tiga anak pada tahun 2021.

Bagaimana Kebijakan Satu Anak memengaruhi ekonomi Cina?

Kebijakan ini berkontribusi pada masalah tenaga kerja yang menipis dan populasi yang menua, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi negara dalam jangka panjang.

Apa dampak sosial dari Kebijakan Satu Anak terhadap struktur keluarga?

Kebijakan ini mengubah struktur keluarga di Cina dengan memperkenalkan keluarga nuklir, yang seringkali berarti anak-anak tunggal bertanggung jawab merawat orang tua yang sudah lanjut usia.

Bagaimana Kebijakan Satu Anak memengaruhi anak-anak yang dilahirkan di bawahnya?

Anak-anak yang dilahirkan di bawah Kebijakan Satu Anak seringkali menghadapi tekanan akademik yang besar, isolasi sosial, dan ekspektasi tinggi dari orang tua mereka.

Referensi

  1. K.S. Babiarz, P. Ma, S. Song, and G. Miller, “Population sex imbalance in China before the One-Child Policy,” Demogr Res, vol. 40, pp. 319–358, 2019, doi: 10.4054/DEMRES.2019.40.13.
  2. Almond, H. Li, and S. Zhang, “NBER WORKING PAPER SERIES LAND REFORM AND SEX SELECTION IN CHINA,” 2013. [Online]. Available: http://www.nber.org/papers/w19153
  3. Edlund, H. Li, J. Yi, and J. Zhang, “Sex ratios and crime: Evidence from China,” Review of Economics and Statistics, vol. 95, no. 5, pp. 1520–1534, 2013, doi: 10.1162/REST_a_00356.
  4. Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2018, July 3). The Effects of China’s One-Child Policy. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/story/the-effects-of-chinas-one-child-policy
  5. Rosenberg, Matt. (2024, June 25). China: Population. Retrieved from https://www.thoughtco.com/china-population-overview-1435461
  6. Hesketh, T., & Zhu, W. X. (1997). The one child family policy: the good, the bad, and the ugly. BMJ (Clinical research ed.)314(7095), 1685–1687. https://doi.org/10.1136/bmj.314.7095.1685

You may also like

Leave a Comment

MindaPedia adalah platform  yang menyediakan informasi luas dan terpercaya dalam berbagai topik, dari ilmu pengetahuan hingga gaya hidup. Dengan konten yang terus diperbarui, menjadi sumber pengetahuan yang mudah diakses bagi siapa saja yang ingin memperluas wawasan.

Edtior's Picks

Latest Articles

2024 Right Reserved. Designed and Developed by Minda team